Kamis, 27 Oktober 2011

KONFLIK



Teori Konflik

B. Tingkatan konflik
Agar bisa merespon konflik secrara tepat, kita perlu memahami level (tingkatan) konflik. Ada konflik yang levelnya individual dan ada pula konflik yang levelnya kelembagaan. Keduanya akan dipaparkan secara lebih detail berikut ini.

B.1. Konflik Tingkat Individu
Dalam kategori ini, terdapat dua kategori konflik, yaitu: (1) konflik dalam diri individu yang bersangkutan, dan (2) konflik antar individu. Konflik dalam diri seseorang terjadi ketika dia mempunyai dua atau lebih kepentingan yang sifatnya bertentangan. Ketika kepentingan-kepentingan itu sama-sama menarik, atau sama-sama tidak menarik, namun dia harus menentukan pilihan, maka terjadilah konflik dalam diri individu yang bersangkutan. Konflik antar individu, terjadi ketika dua individu mempunyai kepentingan yang sama terhadap satu hal, dan mereka sama-sama tidak mau mengalah. Bisa juga, konflik terjadi ketika mereka mempunyai perbedaan pandangan atau pendapat, dan masing-masing menganggap pendapatnnyalah yang paling benar. Pertentangan-pertentangan semacam inilah yang menimbulkan konflik antar individu.

B.2. Konflik Tingkat Lembaga
Dua atau lebih lembaga, bisa terlibat dalam suatu konflik. Pada tingkat lembaga ini, ada dua tingkatan konflik: (1) konflik dalam lembaga dan (2) konflik antar lembaga.
Konflik dalam lembaga terjadi suasananya hampir sama dengan konflik antar individu sebagaimana disebutkan di atas, tetapi sifatnya lebih kompleks. Yang membedakan adalah banyaknya individu yang terlibat dalam konflik. Anggota-anggota dalam suatu lembaga saling bertentangan karena mempunyai kepentingan yang sama terhadap satu hal dan sama-sama tidak mau mengalah. Mereka mempunyai perbedaan pandangan atau pendapat dan masing-masing menganggap pendapatnyalah yang paling benar.
Dalam posisinya sebagai anggota suatu kelompok, orang akan cenderung memilah-milah diri meraka ke dalam dua kategori: ’kita’ (ingroup) dan ’mereka’ (outgroup). Ingroup adalah mereka yang menjadi anggota lembaga, dan outgroup adalah mereka yang berada diluar ingroup. Konflik antar lembaga muncul ketika ada perbedaan paham antara ingroup dan outgroup.
Kalau kita amati dinamika suatu lembaga, kita bisa menemukan adanya dalam tiga tipe konflik. Adapun tipe-tipe konflik ini adalah:
a) Konflik penugasan. Dalam kasus ini, konflik terjadi karena perbedaan pendapat dalam hal bagaimana cara menyelesaikan suatu tugas. Sebagai contoh, ada perbedaan pendapat dalam satu kelompok kerja bagaimana cara kampanye yang efektif, apakah melalui radio atau televisi.
b) Konflik emosional. Konflik emosional ini melibatkan hubungan interpersonal antar anggota yang bekerja dalam satu kelompok. Dalam hal ini, emosi negatif, perasaan tidak suka terhadap orang lain menjadi hal pendukung konflik.
c) Konflik administratif. Konflik ini terjadi manakala terjadi ketidaksetujuan tentang cara merumuskan keputusan kebijakan. Konflik ini meliputi ketidaksepakatan mengenai tugas dan wewenang yang dimiliki dari anggota kelompok.
Banyak hal yang dapat menjadi penyebab konflik antar lembaga: keterbatasan sumberdaya, perbedaan pandangan, atau tujuan yang tidak sejalan. Dalam konflik antar lembaga dapat berdampak pada persepsi dan tingkah laku masyarakat.
Dalam sebuah lembaga, baik lembaga pemerintah maupun non-pemerintah, setiap anggota memiliki kepentingannya sendiri. Mereka memiliki keinginan-keinginannya sendiri, dan mengandalkan resources atau sumber dayanya masing-masing. Sumberdaya tersebut dapat berupa kekuasaan, uang, informasi, dan lain-lain. Sayangnya sumberdaya ini jumlahnya terbatas dan harus ’diperebutkan’ oleh semua anggota. Pada akhirnya keterbatasan sumberdaya tersebut menimbulkan konflik diantara anggota dalam hal distribusi sumberdaya. Selain mengenai keterbatasan sumberdaya, konflik juga dapat muncul karena perbedaan persepsi, ide, kepercayaan, maupun tujuan.

C. Anatomi Konflik
Pada tingkatan apapun konflik yang terjadi, pada dasarnya konflik melibatkan unsur-unsur dasar yang khas. Kemunculannya dipicu oleh suatu kejadian penting. Sejalan dengan acara tersebut di atas, Karen Jehn mengurai anatomi dengan menanyakan, (1) apa yang memicu konflik, (2) siapa saja yang terlibat dalam konflik, (3) apa sih isu yang disengketakan, (4) bagaimana strategi yang dipakai masing-masing fihak fihak yang berkonflik untuk mencapai kemenangan,(5) konflik meluas/mereda, dan (6) apa konsekuensi dari konflik yang terjadi.
Dalam rangka menganalisis konflik, khususnya untuk keperluan menangani dan mengelolanya, beberapa pertanyaan berikut perlu diperhatikan:
a) Apa pemicu konflik?
Pemicu konflik merupakan kejadian yang menjadi “pembuka” suatu konflik dan menjadikan konflik bersifat terbuka.
b) Siapa pihak-pihak yang terlibat?
Pihak-pihak yang terlibat terdiri dari pihak yang terlibat secara langsung dalam konflik, pihak yang memberikan dukungan atau konstituen.
c) Pokok sengketa dan isu konflik?
Isu konflik merupakan hal yang menjadi akar masalah dari konflik tersebut, contoh: perebutan tanah, perebutan jabatan.
d) Apa saja strategi yang digunakan pihak-pihak yang berkonflik?
Strategi yang dimaksudkan disini adalah kegiatan, tak-tik apa saja yang dilakukan pihak yang berkonflik untuk menyerang pihak lainnya. Bisa dengan menggunakan demonstrasi, penyebaran kabar burung, dan lainnya.
e) Bagaimana konflik meluas sehingga melibatkan lebih banyak pihak, wilayah yang lebih luas, dan isu yang lebih banyak?
Dapat terjadi, suatu konflik yang pada awalnya hanya melibatkan dua pihak dan satu isu, bisa berkembang sehingga melibatkan lebih banyak aktor, dan juga bertambah banyak isu yang dipertentangkan.
f) Apa hasil dan akibat/dampak yang ditimbulkan konflik?
Hasil dan akibat yang ditimbulkan bisa bersifat fisik seperti pembakaran rumah, korban tewas, kerusakan lingkungan, maupun akibat yang bersifat non fisik seperti menguatnya stereotip, trauma, pengelompokan, dan lainnya.


Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.


  •  Faktor penyebab konflik
  • Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
  • Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
  • Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.
  • Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.

Jenis-jenis konflik

Menurut Dahrendorf, konflik dibedakan menjadi 4 macam :
  • konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role))
  • konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank).
  • konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa).
  • konflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara)
  • konflik antar atau tidak antar agama
  • konflik antar politik.

Akibat konflik

Hasil dari sebuah konflik adalah sebagai berikut :
  • meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang mengalami konflik dengan kelompok lain.
  • keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.
  • perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci, saling curiga dll.
  • kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.
  • dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.
Para pakar teori telah mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat memghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi; pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai berikut:
  • Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
  • Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan percobaan untuk "memenangkan" konflik.
  • Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan percobaan yang memberikan "kemenangan" konflik bagi pihak tersebut.
  • Tiada pengertian untuk kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk menghindari konflik.

Contoh konflik


TORI KONFLIK

Tidak ada komentar:

Posting Komentar